Liputan86.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menggelar diskusi bertajuk ”Refleksi Ekologis Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur” dalam rangka memperingati Hari Raya Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada 09 Agustus 2023 pada Jumat, (11/08/23).
Kegiatan digelar secara daring dan luring di Kantor WALHI NTT, Jl. Budi Utomo III, Kota Kupang yang dihadiri oleh 34 peserta, terdiri dari 19 peserta secara daring dan 15 peserta secara luring dengan menghadirkan narasumber Ketua PH AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi; Ketua AMAN Sumba, Debora Rambu Kasuatu; Komunitas Penjaga Budaya Helong (KPBH) Kolhua yang diwakilkan oleh Alexius Terianus Bistolen; Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi; dan Grace Gracellia sebagai moderator.
Tujuan dari kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran serta menggalang gerakan kolektif masyarakat guna mendukung dan melindungi kebudayaan serta hak masyarakat adat terutama terhadap proses eksploitasi yang dilakukan negara terhadap lingkungan.
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan tanah adat yang merupakan milik masyarakat telah dijarah.
Menurutnya, peraturan yang dibuat pemerintah menganggap tidak ada tanah adat di NTT dan hanyalah tanah bekas pengolahan masyarakat.
“Sejarah mencatat bahwa berdasarkan PERDA no. 8 tahun 1974 tentang tanah bekas pengolahan masyarakat adat menjadi salah satu bentuk peraturan yang menganggap bahwa tidak ada tanah adat di NTT dan yang ada itu hanyalah tanah bekas pengelolaan masyarakat adat. Dari peraturan ini bisa diketahui bahwa tanah adat yang merupakan milik masyarakat adat telah dijarah,” ujar Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi.
Selain tanah adat, ruang kehidupan masyarakat dan hidup masyarakat juga dijarah. Ia berpendapat terdapat pembatasan ruang publik dan meningkatnya angka human trafficking menunjukkan adanya permasalahan ekologis di NTT.
“Adapun penjarahan ruang kehidupan yang mana dalam hal ini bisa terlihat dari adanya pembatasan ruang publik sehingga akses publik untuk kepentingan publik dibatasi atau bahkan dihalangi. Bukan hanya perampasan sumber daya alam maupun perampasan ruang kehidupan yang menjadi permasalahan ekologis di NTT tetapi juga meningkatnya angka-angka human trafficking yang berasal dari masyarakat adat,” jelas Umbu Wulang
Ia berharap, kedepannya adat di NTT bukan hanya jadi pajangan seremonial para pejabat tetapi dapat dijadikan ajang bersama untuk menjemput saudara-saudari dari berbagai daerah di NTT.
“Saya berharap bahwa ke depannya adat kita bukan hanya sebagai pajangan seremonial para pejabat tetapi jadikan ajang seremonial pesta kita bersama untuk menjemput saudara-saudari kita dari berbagai daerah di NTT,” pungkas Umbu Wulang.
Selain itu, Alexius Terianus Bistolen dari Komunitas Penjaga Budaya Helong (KPBH) Kolhua juga menyampaikan harapan baik sebagai masyarakat adat yakni pemerintah bisa hadir di daerah asal sebagai guru utama untuk memperhatikan nilai-nilai adat demi pembangunan yang berkeadilan.
"Harapan baik kami sebagai masyarakat adat, hadirlah di daerah asal kita sebagai soko guru utama untuk memperhatikan nilai-nilai adat. Pembangunan Oke, tetapi Pembangunan itu harus sejalan dengan masyarakat adat itu sendiri," jelas Alexius Bistolen.
Harapan baik juga disampaikan Ketua PH AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi. Menurutnya perlu adanya komitmen dan perjuangan bersama untuk menyuarakan pembebasan.
“Saat ini NTT sedang dalam ancaman krisis ekologi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal, untuk itu dibutuhkan komitmen perjuangan bersama untuk tetap menyuarakan akan pembebaasan sehingga HAM itu bisa ditegakkan dan masyarakat adat bisa menjadi subjek hukum yang diakui melalui peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan," jelas Maximilianus Loi.
Harapan serupa kemudian dipertegas oleh Ketua AMAN Sumba, Debora Rambu Kasuatu. Menurut Debora, anak-anak adat perlu didorong program pemberdayaan masyarakat.
“Pemuda adat dan saudara-saudara yang bekerja di pemerintah mereka harus diperkuat karena mereka adalah anak-anak adat dan perlu didorong program untuk pemberdayaan masyarakat sehingga ketika mereka pulang ke kampung mereka bukan menjadi penyebab masalah yang akan cepat mentukargulingkan wilayah adat untuk ekonomi mereka," jelas Debora Rambu Kasuatu.
Untuk diketahui, diskusi refleksi ini berlangsung kurang lebih dua jam sejak pukul 17.00 WITA dan tema yang diusung pada Hari Raya Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun ini adalah “Pemuda Adat Sebagai Agen Perubahan untuk Menentukan Nasib Sendiri”. (Rian)